www.rekamfakta.id – Yogyakarta – Penyelidikan kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri RI, Arya Daru Pangayunan, menuai beragam reaksi di tengah masyarakat. Meskipun kepolisian menyatakan tidak ada unsur pidana, banyak aspek yang meminta penjelasan lebih mendalam dan terbuka.
Pakar sosiologi kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, mengatakan bahwa sejumlah kejanggalan dalam kasus ini belum diteliti secara menyeluruh. Ia meminta agar proses penyelidikan terus dilanjutkan untuk menggali lebih dalam berbagai pertanyaan yang tersisa.
Soeprapto juga menekankan pentingnya transparansi dalam setiap tahap penyelidikan. Menurutnya, meskipun tim kepolisian dan forensik telah mencurahkan banyak usaha, masih ada cukup banyak keraguan yang perlu diatasi.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat berharap agar setiap detail dalam kasus ini bisa terungkap. Menyangkut bagaimana Arya bisa mengalami kematian yang misterius, berbagai faktor perlu dipertimbangkan.
Analisis Kejanggalan dalam Kasus ini Perlu Diperhatikan
Soeprapto meringkas beberapa kejanggalan yang mengganggu pemahaman publik mengenai kasus kematian Arya. Poin pertama adalah hilangnya handphone korban yang semula dianggap tidak ada barang hilang. Handphone bisa memberi banyak informasi penting, termasuk komunikasi terakhir dan data pribadi.
Poin kedua adalah penguncian pintu dari dalam. Pintu disebut terkunci dengan tiga cara, tetapi Soeprapto mempertanyakan apakah slot benar-benar terkunci, mengingat kemungkinan korban sering keluar-masuk. Ini bisa menjadi kunci untuk memahami lebih dalam situasi di lokasi kejadian.
Soeprapto juga menyoroti video saat korban membuang sampah yang tidak menunjukkan keadaan pintu secara keseluruhan. Ada kemungkinan orang lain bisa saja masuk dan keluar saat pintu terbuka, yang membutuhkan kajian lebih mendalam terhadap rekaman CCTV.
Aspek selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologis Arya. Diketahui bahwa ia pernah berkonsultasi dengan layanan psikologi. Namun, kejelasan perlu ditanyakan, apakah hasil konsultasi ini menunjukkan gejala depresi berat, ataukah hanya sekadar interpretasi dari email.
Poin selanjutnya adalah penemuan alat kontrasepsi. Terdapat pertanyaan mengenai apakah itu milik korban atau bukan, dan dalam konteks apa digunakan. Ini penting dalam membangun narasi yang logis terkait dengan kejadian tersebut.
Pentingnya Penelusuran Lebih Dalam Oleh Pihak Berwenang
PengawasanKoper yang ditemukan di rooftop juga menjadi sorotan. Jika koper tersebut berisi dokumen, mungkin ada kaitannya dengan pekerjaan korban. Namun, apabila isinya adalah pakaian, ini harus dipastikan siapa pemiliknya, terutama jika itu bukan milik istri.
Soeprapto menyoroti keanehan dalam penanganan saksi. Korban terpantau melakukan aktivitas belanja dengan seseorang, tetapi identitas orang tersebut tidak diungkap. Nama ‘Farah’ juga muncul namun tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait sosok ini.
Poin yang tak kalah penting adalah keanehan dalam cara korban melilitkan lakban di kepalanya. Menurut Soeprapto, sangat tidak masuk akal jika seseorang melakukannya dengan rapi, terutama jika korban dalam keadaan tenang. Orang yang berusaha bunuh diri biasanya menunjukkan gejala kecemasan.
Barang bukti berupa obat CTM juga menjadi pertanyaan, apakah digunakan untuk menenangkan korban dalam situasi tertentu. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar tidak terabaikan dalam penyelidikan.
Soeprapto mengajak masyarakat untuk tidak hanya menerima informasi dari konferensi pers tanpa mempertanyakan lebih jauh. Proses pengumpulan, pengolahan, dan interpretasi data harus dilakukan secara ilmiah dan transparan.
Pentingnya Proses Penyelidikan yang Rapi dan Terbuka
Penyelidikan yang dilakukan harus memperhatikan prinsip-prinsip ilmiah yang terbuka, terukur, dan dapat diuji kembali. Dalam konteks akademik, ada konsep ‘pulah jina lah’ yang merujuk pada proses yang menyeluruh. Namun, dalam konferensi pers sebelumnya, tidak semua elemen tersebut diperlihatkan secara lengkap.
Publik, menurut Soeprapto, hanya disuguhkan tayangan dan narasi yang minim data analitik. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih holistik sangat dibutuhkan agar tidak ada ruang untuk spekulasi di masyarakat.
Observasi perilaku Arya yang terekam CCTV menunjukkan ketenangan, berbeda dengan yang biasa ditunjukkan seseorang yang hendak mengakhiri hidup. Ini menambah keraguan tentang narasi yang sudah disampaikan sebelumnya.
Soeprapto berharap, dengan adanya dua arah komunikasi antara pihak berwenang dan publik, penyelidikan ini dapat berjalan dengan akuntabilitas yang lebih baik. Semakin banyak masukan dan bukti anyar dapat menjembatani pertanyaan yang tak terjawab.
Apabila semua aspek kejanggalan ini diabaikan, kemungkinan spekulasi akan terus berlanjut. Oleh karena itu, Soeprapto menekankan pentingnya jawaban dari pihak yang berwenang agar publik tidak terjebak dalam ketidakpastian.