www.rekamfakta.id – Yogyakarta – Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) dengan tegas menolak perjanjian dagang bilateral yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden AS. Perjanjian ini dianggap tidak seimbang dan dapat berisiko merugikan buruh, petani, serta industri nasional dalam jangka panjang.
Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, menyatakan bahwa isi perjanjian yang membuka pasar Indonesia untuk produk AS merupakan bentuk penjajahan ekonomi gaya baru. Hal ini dinilai mengabaikan prinsip keadilan dalam perdagangan yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap negara.
Irsad menjelaskan bahwa perjanjian ini sangat tidak adil. Sementara Indonesia akan membeli produk energi, pertanian, dan 50 unit pesawat Boeing dengan total nilai hampir 20 miliar dolar AS, ekspor dari Indonesia ke AS tetap dikenakan tarif tinggi hingga 19 persen.
Ia juga menekankan bahwa produk asal AS akan masuk ke Indonesia tanpa hambatan. Ini berpotensi mempercepat proses deindustrialisasi di Indonesia, menghancurkan daya saing petani lokal, dan pada akhirnya melemahkan ketahanan energi nasional.
MPBI DIY menilai bahwa puluhan juta pekerja dan buruh akan terdampak negatif akibat kebijakan ini. Sektor-sektor yang sebelumnya eksis menjadi terancam dan berisiko kehilangan banyak keuntungan.
Sejalan dengan penolakan tersebut, MPBI DIY mengajukan empat tuntutan kepada pemerintah yang perlu dipenuhi. Pertama, peninjauan ulang perjanjian dagang harus melibatkan serikat buruh, pelaku usaha, dan masyarakat sipil.
Pentingnya Melibatkan Masyarakat dalam Penentuan Perjanjian Dagang
Tuntutan kedua adalah moratorium implementasi perjanjian hingga dilakukan kajian dampak yang menyeluruh dan transparan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan tidak merugikan pihak manapun.
Ketiga, pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan terhadap pekerja dan industri nasional. Investasi di dalam negeri harus dijamin keberlanjutannya agar tidak tergerus oleh kebijakan luar yang timpang.
Keempat, MPBI DIY menekankan penolakan terhadap pembukaan pasar secara sepihak tanpa prinsip timbal balik yang adil. Perdagangan internasional seharusnya dapat dilakukan dengan cara yang saling menguntungkan dan memperhatikan kondisi lokal.
Irsad menegaskan bahwa masa depan ekonomi Indonesia, khususnya untuk kelas pekerja dan sektor produktif, tidak seharusnya dikorbankan demi kepentingan jangka pendek. Keberpihakan negara kepada rakyatnya adalah kunci untuk menciptakan ekonomi yang adil.
Risiko Pekerja dan Industri Lokal dalam Kebijakan Dagang
Dalam konteks kebijakan perdagangan ini, risiko bagi pekerja dan industri lokal semakin nyata. Tanpa perlindungan yang memadai, industri kecil dan menengah bisa terancam tutup akibat bersaing dengan produk luar negeri yang lebih murah.
Pentingnya dukungan terhadap buruh dan petani lokal perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Tanpa dukungan ini, daya saing lokal akan tergerus, mengakibatkan banyaknya pengangguran di kalangan pekerja.
MPBI DIY menyatakan bahwa perlu ada upaya untuk memperkuat daya saing lokal, bukan hanya dengan impor. Diversifikasi produk dan penguatan industri lokal harus menjadi prioritas guna memastikan keberlangsungan ekonomi.
Irsad juga mengingatkan pentingnya kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam menciptakan strategi yang berdampak positif. Pesan ini seharusnya menjadi perhatian pihak pemerintah dalam merancang kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan.
Perlunya Kebijakan Dagang yang Berkeadilan dan Transparan
Kebijakan perdagangan yang berkeadilan dan transparan sangat diperlukan untuk mencapai keberlanjutan ekonomi. Melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap hasil yang didapat.
Transparansi dalam proses pengambilan keputusan juga sangat penting. Masyarakat harus memiliki akses informasi yang memadai sehingga dapat memberikan masukan yang konstruktif.
Perjanjian dagang seharusnya bukan hanya menguntungkan satu pihak, tetapi harus memberi manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Ini adalah prinsip dasar yang harus dipatuhi agar semua dapat merasakan hasil dari perdagangan internasional.
Irsad mengingatkan bahwa negara harus berdiri di sisi rakyat dan tidak tunduk pada tekanan dagang. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang memperhatikan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Konsekuensi Jangka Panjang dari Perjanjian Dagang yang Tidak Adil
Konsekuensi jangka panjang dari perjanjian dagang yang tidak adil sangat beragam. Salah satunya adalah meningkatnya angka pengangguran di sektor-sektor yang tertekan oleh arus barang dari luar negeri.
Selain itu, kerentanan terhadap perubahan iklim dan krisis sumber daya pun dapat meningkat. Hal ini dapat berimbas pada ketahanan pangan dan energi nasional.
MPBI DIY menyoroti bahwa ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat sektor-sektor yang rentan. Dengan memperhatikan keadilan dalam perdagangan, diharapkan akan ada perbaikan yang signifikan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Oleh karena itu, penolakan terhadap perjanjian dagang yang merugikan buruh dan petani adalah langkah yang rasional. Kebijakan ekonomis harus mampu menjamin masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir orang.