www.rekamfakta.id – Yogyakarta saat ini menghadapi tren yang mengkhawatirkan mengenai peredaran beras oplosan, yaitu beras yang dicampur dengan bahan kimia berbahaya seperti pemutih dan pewarna sintetis. Praktik ini tidak hanya merusak citra pangan yang aman, namun juga dapat mengancam kesehatan masyarakat secara serius.
Naiknya konsumsi beras oplosan di pasar tradisional menunjukkan lemahnya sistem pengawasan yang ada. Banyak pihak, termasuk akademisi, mulai angkat bicara mengenai dampak dan bahaya dari masalah ini.
Pakar pangan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., berpendapat bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga merugikan konsumen. Meskipun tidak ada istilah resmi untuk beras oplosan, pencampuran bahan non-pangan tetap merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pangan yang berlaku.
“Dengan tidak adanya regulasi spesifik mengenai beras oplosan, kita tetap bisa menggunakan dasar hukum dari UU Pangan untuk menindak praktik ini,” ujarnya, memberikan gambaran mengenai kondisi yang perlu segera ditangani.
Dampak Bahan Kimia Berbahaya dalam Beras Oplosan
Namun, apa sebenarnya yang bisa terjadi jika seseorang mengonsumsi beras yang telah dicampur bahan kimia tersebut? Sri Raharjo menjelaskan bahwa bahan kimia berbahaya seperti klorin, pewangi buatan, dan parafin sering digunakan dalam proses pembuatan beras oplosan. Zat-zat ini mungkin membuat beras tampak lebih menarik, tetapi mereka menyimpan risiko kesehatan yang besar.
Contohnya, klorin dapat memberikan efek samping yang berbahaya ketika terakumulasi di dalam tubuh. Dalam jangka panjang, paparan terhadap klorin dapat mengarahkan pada gangguan kesehatan yang serius seperti kanker.
Senyawa seperti hipoklorit dikenal dapat menghasilkan zat karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain itu, pewarna sintetis yang digunakan juga berpotensi menyebabkan masalah kesehatan lainnya seperti sirosis hati dan gangguan ginjal.
“Risiko ini tidak boleh dianggap remeh, terutama mengingat bahwa konsumsi beras oplosan secara terus-menerus dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit. Organ-organ vital dalam tubuh manusia, seperti hati dan ginjal, dapat mengalami kerusakan yang permanen akibat mengolah zat asing tersebut,” terang Sri Raharjo.
Pencerahan mengenai Proses Pencucian Beras
Satu kesalahpahaman yang kerap terjadi di masyarakat adalah anggapan bahwa proses pencucian beras dapat menghilangkan semua kontaminan. Namun, Sri Raharjo dengan tegas menjelaskan bahwa proses tersebut seringkali tidak efektif, terutama untuk menghilangkan bahan kimia berbahaya.
Dari survei yang dilakukan, ternyata banyak yang masih berkeyakinan bahwa mencuci beras dengan baik dapat membersihkan zat-zat berbahaya. “Pencucian hanya dapat mengurangi sedikit pewarna, tetapi residu kimia tetap mungkin tertinggal dalam beras,” tambahnya.
Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam melakukan uji sederhana menjadi penting. Seperti merendam beras dalam air untuk memeriksa perubahan warna atau apakah butiran beras mengambang bisa menjadi langkah awal dalam deteksi.
“Apabila beras yang direndam mengambang atau mengeluarkan bau plastik saat dibakar, kita harus waspada bahwa beras tersebut mungkin telah terkontaminasi,” jelasnya sambil memberi contoh sederhana tetapi efektif.
Pentingnya Pengawasan dan Edukasi Publik
Sri Raharjo juga menyampaikan urgensi perbaikan sistem pengawasan pangan di Indonesia. Menurutnya, kekuatan hukum tidak cukup, dan edukasi masyarakat harus menjadi salah satu pilar dalam menjaga kualitas pangan. Pengawasan distribusi perlu diperkuat agar konsumen terlindungi dari produk yang tidak aman.
“Masyarakat perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan teknologi deteksi untuk memastikan pangan yang dikonsumsi adalah yang berkualitas. Edukasi adalah kunci untuk memberdayakan konsumen,” tegasnya, mendorong peran aktor-aktor penting untuk tidak abai dalam isu ini.
Penekanan pada pembelian beras dari sumber terpercaya pun menjadi bagian dari langkah strategis yang bisa diambil oleh masyarakat. Konsumen disarankan untuk memperhatikan label SNI pada kemasan beras dan secara berkala mempertimbangkan diversifikasi sumber pangan.
“Hindari beras yang tidak jelas asalnya, dan tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan karbohidrat alternatif,” pungkasnya, memberikan semangat agar masyarakat lebih kritis dalam memilih pangan yang aman bagi kesehatan mereka.