www.rekamfakta.id – Kasus yang melibatkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), khususnya pada perkara Nomor 122-PKE-DKPP/IV/2025, menjadi sorotan yang tidak boleh diabaikan. Keputusan yang menjatuhkan sanksi kepada dua anggota Bawaslu Kota Jakarta Timur, Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo, menunjukkan banyak aspek yang patut dikritisi dari segi etik dan hukum.
Dalam konteks pemilu yang demokratis, kehadiran pengawas sangatlah vital. Mereka bertugas untuk memastikan proses pemilihan berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, ketika keputusan berupa sanksi datang kepada mereka yang telah menjalankan tugasnya dengan benar, pertanyaan besar pun muncul mengenai keadilan dan integritas sistem hukum yang ada.
Keputusan DKPP ini berpotensi menciptakan ketakutan di kalangan pengawas pemilu yang berintegritas. Situasi ini berisiko menghalangi pengungkapan tindakan curang dan pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Pentingnya Integritas dalam Pengawasan Pemilu yang Adil
Salah satu hal yang patut dicermati adalah dampak dari putusan DKPP. Keputusan ini bisa menjadi sinyal negatif bagi pengawas pemilu. Jika mereka yang berani mengambil tindakan pencegahan terhadap kecurangan justru dihukum, berarti sistem yang ada telah terbalik.
Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo bertindak sesuai dengan Pasal 30 UU No. 10 Tahun 2016 serta peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Bawaslu. Mereka mencoba untuk mengungkap pelanggaran yang sangat serius di TPS 28 Kelurahan Pinang Ranti.
Pelanggaran berat ini meliputi pencoblosan ilegal oleh pemilih yang tidak terdaftar dan keberadaan seorang anggota KPPS yang tidak sah. Upaya pengawas untuk mengungkap kasus ini seharusnya mendapatkan apresiasi, bukan sanksi.
Konflik Kepentingan dalam Proses Pemingsan DKPP
Salah satu isu yang mencolok adalah munculnya potensi konflik kepentingan dalam majelis DKPP. Dr. Didik Suhariyanto, yang merupakan anggota majelis, ternyata pernah memberikan keterangan yang menguntungkan bagi salah satu pihak dalam kasus ini.
Dalam surat keberatan, para teradu menegaskan bahwa kehadiran Dr. Didik dalam majelis menunjukkan adanya bias, karena sebelumnya dia telah memberikan keterangan yang meringankan bagi pihak yang kini menjadi pengadu.
Hal ini menjadi lebih rumit ketika para teradu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan dari Dr. Didik sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan. Sayangnya, keberatan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari DKPP.
Pengabaian terhadap Fakta-Fakta Penting dalam Sidang
Putusan DKPP juga dinilai mengabaikan sejumlah fakta penting, termasuk laporan dari pengawas TPS 28 yang mencatat adanya pelanggaran serius. Tindakan yang bersifat menyembunyikan surat suara tercoblos menjadi salah satu bukti penting yang diabaikan.
Fakta bahwa terjadi pencoblosan 19 surat suara secara ilegal, di mana salah satu surat suara sudah masuk ke dalam kotak suara, menunjukkan adanya kolusi antara Petugas Ketertiban TPS dan Ketua KPPS.
Proses penghitungan suara yang terus berlangsung hingga malam hari menunjukkan bahwa tuduhan bahwa para teradu menghentikan proses tersebut tidak berdasar. Pelanggaran-pelanggaran ini seharusnya ditindaklanjuti, bukan hanya dibiarkan berlalu.
Keterpurukan Etika dalam Penanganan Kasus Pemilu
Dalam hal ini, sanksi yang dijatuhkan oleh DKPP kepada pengawas pemilu dianggap salah langkah. Sementara pelaku pelanggaran serius yang harusnya mendapatkan evaluasi etik, seperti KPPS TPS 28 dan KPU Kota Jakarta Timur, tidak mendapatkan perhatian yang sama.
Meloloskan proses rekapitulasi suara tanpa mengindahkan keberatan dari pengawas adalah tindakan yang sangat serius. Bukti-bukti manipulasi surat suara dan pelanggaran prosedural terabaikan tanpa ada tindakan nyata untuk menyelesaikannya.
Di saat pelanggar utama dibiarkan dan pengawas yang melaksanakan tugas malah dihukum, situasi ini jelas menunjukkan kemunduran etika dalam penyelenggaraan pemilu. DKPP seharusnya menjadi pelindung moralitas, bukan sebaliknya.
Tindak Lanjut Hukum yang Ditempuh oleh Para Teradu
Menanggapi keputusan DKPP yang dianggap tidak adil, para teradu tidak tinggal diam. Mereka telah menyatakan niat untuk menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan yang dianggap merugikan.
Keputusan untuk melanjutkan ke jalur hukum ini adalah tindakan yang mencerminkan komitmen para teradu dalam menegakkan integritas pemilu. Mereka ingin memastikan bahwa suara mereka didengar dan bahwa setiap pengawas pemilu yang bekerja sesuai aturan mendapatkan perlindungan yang layak.
Sikap tegas ini menjadi penting untuk menjaga kualitas sistem demokrasi. Jika pengawas yang bertindak jujur justru mendapatkan sanksi, maka dampak jangka panjangnya terhadap demokrasi akan sangat merugikan.