www.rekamfakta.id – Denpasar menghadapi tantangan besar dengan rencana pembangunan terminal LNG (Liquefied Natural Gas) FSRU (Floating Storage Regasification Unit) di Sidakarya. Warga sekitar dan berbagai pihak menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan, khususnya abrasi yang dapat mengancam keindahan destinasi wisata terkenal seperti Sanur dan Pulau Serangan.
Kekhawatiran masyarakat Pulau Serangan berakar dari prediksi terbentuknya palung besar akibat pengerukan untuk terminal LNG tersebut. Mereka beranggapan bahwa palung ini akan berkontribusi pada abrasi parah yang dapat mengikis garis pantai kedua lokasi ikonik tersebut.
Wayan Patut, seorang prajuru adat Desa Serangan sekaligus aktivis lingkungan, menegaskan bahwa pembuatan palung akan menyebabkan perubahan keseimbangan ekologis. Kegiatan tersebut berpotensi memperburuk abrasi yang sudah terjadi di kawasan tersebut, sebuah faktor yang sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat setempat.
Patut mengungkapkan bahwa dampak dari keberadaan terminal LNG ini cukup signifikan dan mengkhawatirkan bagi masyarakat. Hal tersebut ia sampaikan dalam suatu acara yang diadakan oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) di Kampus STB Runata, yang membahas tentang dampak lingkungan terkait pembangunan terminal LNG.
Pergeseran Jarak Pembangunan: Ancaman yang Makin Nyata!
Pada awalnya, lokasi terminal LNG ini direncanakan akan dibangun di laut lepas, sekitar 4 km dari pantai. Namun, saat ini, jarak tersebut menyusut tajam menjadi kurang dari 500 meter dari garis pantai, yang tentunya akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat setempat.
Menurut Patut, perubahan jarak ini sangat mengkhawatirkan. Jika sebelumnya pembangunan berada di luar 4 km, kini dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap masyarakat Pulau Serangan dan Sanur dapat semakin terasa.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan tidak hanya terbatas pada abrasi. Patut menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang yang sangat vital bagi kehidupan laut Bali juga terancam habis jika pengerukan terminal tersebut terus berjalan.
Keberadaan kapal pengangkut LNG yang berukuran besar akan membutuhkan ruang yang cukup untuk beroperasi, memperburuk dampak terhadap lingkungan. Hal ini akan menambah beban pada ekosistem yang sudah rapuh di sekitar lokasi tersebut.
Kerugian Ekonomi dan Ancaman bagi Satwa Penyu yang Terancam
Kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan terumbu karang tidak bisa dianggap sepele. Nilai ekonomis dari terumbu karang sangat tinggi, dengan setiap meter perseginya memiliki nilai sekitar Rp 3 juta. Jika pengerukan terus berlangsung, kerugian yang dialami oleh masyarakat lokal tidak terbayangkan.
Tidak hanya manusia yang terdampak; satwa penyu yang biasa bertelur di Pulau Serangan juga akan mengalami ancaman serius. Cahaya dari kapal-kapal yang beroperasi di dermaga LNG akan memengaruhi siklus hidup penyu, memaksa mereka mencari tempat lain untuk bertelur.
Bahkan para ahli menunjukkan bahwa potensi gangguan dari cahaya tersebut dapat mengurangi jumlah penyu yang bertelur di tempat mereka seharusnya. Hal ini berdampak buruk bagi populasi penyu yang sudah terancam punah.
Proses Rencana Pembangunan dan Izin Lingkungan yang Terhambat
Walaupun rencana pembangunan terminal LNG ini telah berjalan selama tiga tahun, prosesnya masih terhambat. Hingga saat ini, pengembang belum mendapatkan izin lingkungan yang diperlukan untuk memulai pembangunan.
Pihak pengembang masih menunggu analisis mengenai dampak lingkungan yang harus disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Menteri Lingkungan Hidup pun telah berjanji untuk menjaga ketat proses serah terima izin itu sebelum kegiatan pembangunan dimulai.
Acara yang diadakan oleh SMSI Kota Denpasar itu membahas banyak hal terkait dengan rencana ini dan menghadirkan berbagai narasumber yang kompeten di bidang pariwisata. Beberapa di antaranya termasuk akademisi dari Universitas Udayana dan praktisi pariwisata yang memberikan pandangan mereka tentang risiko dan dampak yang mungkin timbul dari proyek ini.
Pemahaman yang lebih dalam tentang isu lingkungan sangat penting dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan semua aspek, diharapkan keputusan yang diambil akan lebih bijak dan berkelanjutan untuk masyarakat dan lingkungan sekitar.
Dengan demikian, pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tidak bisa diabaikan. Dialog yang konstruktif antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat dapat membantu mencari jalan tengah yang dapat memenuhi kepentingan semua pihak.
Memastikan bahwa suara masyarakat didengar dalam isu-isu lingkungan dan pembangunan adalah langkah pertama yang krusial dalam meraih keberlanjutan. Hanya dengan kerja sama dan komunikasi yang baik, dampak negatif dari proyek pembangunan ini dapat diminimalkan demi masa depan yang lebih baik untuk Sanur, Pulau Serangan, dan seluruh Bali.