www.rekamfakta.id – Jakarta – Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, secara tegas mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan seluruh aktivitas proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) di pesisir Tangerang, Banten. Ia menyebut proyek ini telah melahirkan penderitaan rakyat pesisir, penggusuran nelayan, dan perampasan laut oleh segelintir elite pemilik modal.
“Dulu para pejuang kemerdekaan mengusir penjajah dengan bambu runcing. Sekarang rakyat kita justru dijajah oleh bambu pagar laut. Ini ironi sejarah yang menyakitkan. Jangan sampai negara kalah oleh kekuasaan para taipan,” tegas Noor Azhari, Direktur MPSI dalam pernyataan tertulis yang diterima wartawan, Selasa (10/6/2025).
Proyek PIK 2 dan Dampaknya terhadap Masyarakat Pesisir
Menurutnya, proyek PIK 2 bukan hanya melanggar etika pembangunan berkelanjutan, tetapi juga telah menciptakan krisis kemanusiaan dan ekologi di wilayah pesisir. Ribuan nelayan yang dulu hidup dari laut kini terusir, akses laut dibatasi, dan ruang hidup mereka digantikan oleh pagar-pagar besi dan beton. Situasi ini menyoroti bagaimana kebijakan yang tidak pro-rakyat dapat berdampak luas, sehingga keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial menjadi sangat penting.
Data mencolok menunjukkan bahwa dalam kurun waktu proyek ini berjalan, banyak nelayan yang kehilangan mata pencaharian mereka. Ada dugaan kuat bahwa monetisasi ruang laut ini tidak hanya merugikan masyarakat setempat, tetapi juga menyalahi prinsip-prinsip pembangunan yang adil. Ini adalah bukti bahwa ketika hanya segelintir orang memiliki kuasa atas sumber daya, rakyat yang menjadi korban.
Strategi Menyikapi Isu Pembangunan Berkelanjutan
Menghadapi kondisi tersebut, sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bekerjasama dalam merumuskan strategi pembangunan yang lebih inklusif. Satu langkah yang dapat diambil adalah melibatkan masyarakat pesisir dalam proses pengambilan keputusan. Dengan cara ini, pengalaman dan keinginan mereka dapat menjadi bagian dari rencana pembangunan, alih-alih menjadi objek yang terabaikan.
Ia juga menyoroti acara penanaman mangrove baru-baru ini di kawasan reklamasi PIK 2, yang dihadiri oleh taipan besar seperti Aguan, purnawirawan jenderal A.M. Hendropriyono, dan sejumlah elit partai politik. Ia mempertanyakan transparansi dan motif dari kegiatan tersebut. “Tanam mangrove sambil merampas laut? Jangan main-main dengan simbol lingkungan. Apakah acara itu didanai oleh pengembang? Apakah semua pihak yang hadir sadar mereka sedang berdiri di atas penderitaan rakyat pesisir?” ujarnya.
Secara hukum, ia mengingatkan bahwa proyek reklamasi dan pemagaran laut seperti di PIK 2 berpotensi melanggar UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain itu, proyek ini juga bisa melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 yang menegaskan hak nelayan tradisional sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara.
“Ini bukan lagi soal tata ruang, ini sudah masuk wilayah pelanggaran hak asasi dan pengabaian keadilan ekologis. Negara tidak boleh tunduk pada beton dan konglomerat,” tegasnya. Selain itu, pengabaian hak nelayan tradisional ini menggambarkan tantangan yang lebih besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Penting bagi pemerintah untuk tidak sekadar melihat proyek ini dari perspektif ekonomi, tetapi juga dari segi sosial dan lingkungan.
Ia pun menyerukan kepada Presiden Prabowo untuk mengambil langkah berani dan tegas. “Presiden harus hentikan proyek PIK 2, bongkar pagar laut, dan pulihkan hak rakyat pesisir. Kalau tidak, sejarah akan mencatat bahwa di bawah pemerintahannya, kemerdekaan laut kita dijual ke tangan swasta. Bung Karno pasti menangis melihat ini,” pungkasnya.