www.rekamfakta.id – Yogyakarta – Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, fenomena pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece yang dilakukan sejajar dengan bendera Merah Putih menjadi sorotan publik. Aksi ini memicu berbagai reaksi dari masyarakat dan pejabat negara, dengan para pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menganggapnya lebih sebagai bentuk ekspresi kebebasan sipil daripada ancaman radikal.
Pengibaran bendera tersebut diinterpretasikan sebagai perlawanan simbolik yang kreatif, terutama dari kalangan anak muda. Peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, Ayom Mratita Purbandani, menjelaskan bahwa tindakan ini tidak bisa tergolong sebagai tindakan makar atau radikal.
Ia menekankan bahwa penggunaan elemen budaya populer seperti One Piece berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan kritik dan protes. Dalam konteks ini, Ayom mengungkapkan bahwa simbol-simbol budaya populer sering dipakai untuk mengungkapkan ketidakpuasan, mirip dengan simbol-simbol lain yang muncul dalam situasi serupa di berbagai belahan dunia.
“Ekspresi ini adalah protes yang bersifat simbolik. Media sosial menjadi saluran utama bagi penyebaran informasi dan ekspresi ketidakpuasan,” jelas Ayom. Ia juga menambahkan bahwa harus ada pemahaman yang lebih dalam dari pemerintah terhadap fenomena ini, alih-alih mengambil pendekatan represif yang mungkin justru memperkuat pesan protes.
Kritik yang disampaikan melalui simbol-simbol ini memiliki karakteristik yang khas, yaitu spontanitas dan kedalaman emosional, berbeda dari demonstrasi konvensional. Ayom menyayangkan jika pemerintah merespons aksi ini dengan kekerasan, yang hanya akan mengerdilkan ruang kebebasan sipil di Indonesia.
Persepsi Masyarakat Terhadap Budaya Populer dan Kebebasan Berekspresi
Sosiolog politik dari UGM, Dr. Arie Sujito, juga sejalan dengan penilaian Ayom, menilai pengibaran bendera One Piece tidak dapat dianggap sebagai tindakan radikal. Menurut Arie, simbol itu mencerminkan narasi luas tentang perjuangan dan harapan akan keadilan di tengah ketidakpuasan publik.
Dia berpendapat bahwa fenomena ini tidak muncul dari satu kondisi krisis spesifik, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai ketidakpuasan masyarakat. Kemunculan simbol-simbol ini di media sosial nyata-nyata menjadi sarana efektif dalam mengekspresikan suara rakyat.
Arie menegaskan bahwa pelarangan aksi semacam itu tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Di sisi lain, pendekatan yang terbuka dan komunikatif justru lebih mampu menampung aspirasi masyarakat, serta mendorong dialog yang positif.
“Melarang tidak akan menyelesaikan apa-apa. Ini adalah artikulasi dari kegundahan yang sepatutnya didengarkan,” ujarnya, memberikan peringatan mengenai kebutuhan untuk memahami isu-isu penting di balik simbol yang digunakan. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya iklim sosial-politik saat ini.
Perubahan Tren dalam Memaknai Kemerdekaan
Budayawan UGM, Prof. Faruk, melihat adanya pengembangan dalam cara masyarakat, khususnya generasi muda, memaknai kemerdekaan di Indonesia. Jika sebelumnya simbol-simbol tradisional seperti gapura dan bambu runcing mendominasi, kini simbol-simbol budaya pop seperti bendera One Piece menjadi alternatif yang lebih kreatif.
Prof. Faruk menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan bagian dari strategi komunikasi yang unik. Generasi muda lebih suka menyampaikan kritik melalui simbol yang familiar, mencerminkan sifat kreatif dan inovatif dalam merespons situasi sosial dan politik yang ada.
Dia juga berpendapat bahwa pengibaran bendera ini bisa jadi merupakan kelanjutan dari gerakan protes yang sudah ada sebelumnya, seperti Indonesia Gelap. Meskipun demikian, Faruk melihat gerakan ini sebagai sesuatu yang muncul secara organik dari kepedulian masyarakat, bukan hasil mobilisasi oleh pihak tertentu.
“Kita perlu memahami interaksi antara kreativitas dan protes politik. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat telah berevolusi dalam cara mereka mengekspresikan kekhawatiran,” tutup Faruk, menyiratkan harapan akan masa depan yang lebih baik dengan mendengarkan suara rakyat.
Menyikapi Ekspresi Simbolik dalam Ranah Publik
Melihat betapa signifikanya fenomena pengibaran bendera One Piece, kita dihadapkan pada pertanyaan penting tentang bagaimana masyarakat sebaiknya menyikapi ekspresi simbolik seperti ini. Apakah tindakan tersebut hanya sekadar hiburan belaka, ataukah terdapat pesan mendalam yang perlu digali dan dipahami?
Sikap toleran dan terbuka dari pemerintah serta masyarakat diperlukan agar dapat menciptakan ruang di mana semua lapisan masyarakat dapat mengekspresikan pendapatnya. Ini juga penting untuk menjaga ketahanan sosial dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari perspektif edukasi, memahami arti penting simbol-simbol ini bisa menjadi langkah besar dalam mengedukasi generasi muda. Jika imbangan antara kebebasan bereskpresi dan tanggung jawab dapat dijaga, maka kita bisa berharap pada terbangunnya dialog yang konstruktif dalam membersihkan kerut-kerut di wajah masyarakat.
Sebagai penutup, penting untuk mengingat bahwa kebebasan berekspresi merupakan salah satu pilar demokrasi yang harus dijaga dan dilindungi. Dengan demikian, terwujudlah masyarakat yang tidak hanya merdeka, tetapi juga berdaya saing dan mampu menghadapi tantangan global dengan berani dan kreatif.